Satrio Piningit (Gedrik Javanese: Satriå Pininģit, Javanese Hanacaraka: means "Hidden Knight/ Hidden Kshatriya") is a Javanese character of Jongko Joyobhoyo (Jayabaya Prophecies) in Javanese myths by which considered as one who would become a Great Leader of Nusantara (modern-day Indonesia) and rule all over the world from Java. In other traditions around the world, Satrio Piningit has a similar way as Messiah in Judaism and Maitreya in Buddhism, or related to Imam Mahdi prophecy in Islam.
Jongko Joyoboyo (Jayabaya Prophecies)
Jongko Joyoboyo (Jayabaya Prophecies)
Maharaja Jayabaya was a King of Kediri in East Java from 1135 to 1157 A.D. and he was known for his righteousness and prosperous, coupled with reputed to have been an incarnation of the Hindu deity, Deva Vishnu (Javanese: Dhewo Wisnu, Indonesian: Dewa Wisnu) so that he had a sort of magical strength (in which Javanese called sakti manduroguno). He is also believed that able to predict the future.
Maharaja Jayabaya is the most famous for his oracles, most prophesies were attributed to him names the Serat Joyobhoyo Musoror, Serat Pranitiwekyo, and the rests are debatable amongst scholars. Jayabaya is also attributed as author of the "Pralembang Joyobhoyo", a prophetic book which played an important role on mind control in the Japanese Occupation of Indonesia (1942–1945).
According to a selectively abridged set of stanzas within a Jayabaya prophesy (those all are extremely long epic poems):
"The Javanese would be ruled by whites for 3 centuries and by yellow dwarfs for the life span of a maize plant prior to the return of the Ratu Adil: whose the name must contain at least one syllable of the Javanese Noto Nogoro."
When Japan occupied the Netherlands East Indies, in the first weeks of 1942, Indonesians came down in the streets shouting out to the Japanese army as the fulfillment of the prophecy ascribed to Joyoboyo, who foretold the day when white men would one day establish their rule on Java and tyrannize the people for hundreds years – but they would be driven out by the arrival of yellow men from the north. These yellow dwarfs, Joyoboyo had predicted, would remain for one crop cycle, and after that Java would be freed from foreign domination. To most of the Javanese, Japan was a liberator: the prophecy had been fulfilled.
At the Japanese Occupation during World War II when Japanese Soldier overwhelmed and took over the Dutch East Indies rule in Sumatra and Java Island, most Javanese people believed that Japanese were the Awaited Satrio Piningit. Yet Japan ruled by way of oppressing the people. Besides, Satrio Piningit was a Javanese, not Japanese.
In post-independence, most Javanese people (until now) believe that Sukarno were Satrio Piningit. They claimed that Sukarno's character was quite similar to Satrio Piningit's. But most Indonesians do not believe it due to the prophecy by which Satrio Piningit would become a leader of the world, not only of Indonesia, and some Java-centric ethnical issues are also considered as rejection of the claim. And at the end of Sukarno's, Sukarno was treated kind of inhumanely by the New Order's Regime (1967–1998), starting from rejection of Sukarno's Nawaksara at MPRS court in 1966.
Jayabaya's only tells about Satrio Piningit's rising from Java Island. He would lead Nusantara and the last, he would rule the world. Jayabaya does not tell about post-Satrio Piningit era which is considered as post-apocalyptic world, so that Satrio Piningit is just mere open debatable interpretation.
Moksa Raja Jawa
Banyak Keturunan Raja Jawa yang moksa dan menyebar ke pelosok negeri ini, hingga dirinya tidak pernah merasa menjadi bagian keturunan raja.
Maharaja Jayabaya is the most famous for his oracles, most prophesies were attributed to him names the Serat Joyobhoyo Musoror, Serat Pranitiwekyo, and the rests are debatable amongst scholars. Jayabaya is also attributed as author of the "Pralembang Joyobhoyo", a prophetic book which played an important role on mind control in the Japanese Occupation of Indonesia (1942–1945).
According to a selectively abridged set of stanzas within a Jayabaya prophesy (those all are extremely long epic poems):
"The Javanese would be ruled by whites for 3 centuries and by yellow dwarfs for the life span of a maize plant prior to the return of the Ratu Adil: whose the name must contain at least one syllable of the Javanese Noto Nogoro."
When Japan occupied the Netherlands East Indies, in the first weeks of 1942, Indonesians came down in the streets shouting out to the Japanese army as the fulfillment of the prophecy ascribed to Joyoboyo, who foretold the day when white men would one day establish their rule on Java and tyrannize the people for hundreds years – but they would be driven out by the arrival of yellow men from the north. These yellow dwarfs, Joyoboyo had predicted, would remain for one crop cycle, and after that Java would be freed from foreign domination. To most of the Javanese, Japan was a liberator: the prophecy had been fulfilled.
At the Japanese Occupation during World War II when Japanese Soldier overwhelmed and took over the Dutch East Indies rule in Sumatra and Java Island, most Javanese people believed that Japanese were the Awaited Satrio Piningit. Yet Japan ruled by way of oppressing the people. Besides, Satrio Piningit was a Javanese, not Japanese.
In post-independence, most Javanese people (until now) believe that Sukarno were Satrio Piningit. They claimed that Sukarno's character was quite similar to Satrio Piningit's. But most Indonesians do not believe it due to the prophecy by which Satrio Piningit would become a leader of the world, not only of Indonesia, and some Java-centric ethnical issues are also considered as rejection of the claim. And at the end of Sukarno's, Sukarno was treated kind of inhumanely by the New Order's Regime (1967–1998), starting from rejection of Sukarno's Nawaksara at MPRS court in 1966.
Jayabaya's only tells about Satrio Piningit's rising from Java Island. He would lead Nusantara and the last, he would rule the world. Jayabaya does not tell about post-Satrio Piningit era which is considered as post-apocalyptic world, so that Satrio Piningit is just mere open debatable interpretation.
Moksa Raja Jawa
Banyak Keturunan Raja Jawa yang moksa dan menyebar ke pelosok negeri ini, hingga dirinya tidak pernah merasa menjadi bagian keturunan raja.
Moksa (Sanskerta: mokṣa) adalah sebuah konsep agama Hindu dan Buddha.
Artinya ialah:
Artinya ialah:
Kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi atau Punarbawa kehidupan.
Dalam ajaran Masyarakat Jawa, atma-jnana (kesadaran akan "sang diri") adalah kunci untuk meraih moksa.
Raja Jawa melakukan suatu bentuk (atau lebih) dari beberapa macam Yoga, Bhakti, Karma, Jnana, Raja dengan menyadari bahwa Tuhan bersifat tidak terbatas dan mampu hadir dalam berbagai wujud, baik bersifat personal maupun impersonal.
Diyakini bahwa ada empat Yoga (pengendalian) atau marga (jalan) untuk mencapai moksa.
Hal ini meliputi:
- Berbakti demi Yang Mahakuasa (Karma Yoga), memahami Yang Mahakuasa (Jnana Yoga),
- Bermeditasi kepada Yang Mahakuasa (Raja Yoga), dan
- Melayani Yang Mahakuasa dengan bakti yang tulus (Bhakti Yoga).
Tradisi yang berbeda-beda memiliki kecenderungan antara jalan yang satu dengan yang lainnya, beberapa yang terkenal di antaranya adalah tradisi Tantra dan Yoga yang berkembang oleh Raja Jawa.
Pendekatan oleh tradisi Wedanta terbagi menjadi non-dualitas (adwaita), non-dualitas dengan kualifikasi (misalnya wisistadwaita), dan dualitas (dwaita).
Cara mencapai moksa yang dilakukan Raja Jawa oleh tiga tradisi tersebut bervariasi.
Adwaita Wedanta
Menekankan Jnana Yoga sebagai cara utama untuk mencapai moksa.
Tradisi ini fokus kepada pengetahuan tentang Brahman yang disediakan oleh literatur tradisional Wedanta dan ajaran pendirinya, Adi Shankara.
Sadhaka (Praktisi Spiritual)
Melalui pemilahan antara hal yang nyata dan yang tidak nyata, sadhaka (praktisi spiritual) akan mampu melepaskan diri dari jerat ilusi dan menyadari bahwa dunia yang teramati sesungguhnya merupakan dunia ilusi, fana, dan maya, dan kesadaran tersebut merupakan satu-satunya hal yang nyata.
Pemahaman tersebut merupakan moksa, saat atman (percikan Tuhan dalam diri) dan Brahman (esensi alam semesta) saling memahami sebagai substansi dan kehampaan akan dualitas eksistensial.
Tradisi non-dualis
Memandang Tuhan sebagai objek kasih sayang yang paling patut disembah, misalnya personifikasi konsep monoteistik akan Siwa atau Wisnu.
Tidak seperti tradisi agama Abrahamik, Adwaita/ Hinduisme tidak melarang aspek Tuhan yang berbeda-beda, seperti berbagai sinar yang berasal dari sumber cahaya yang sama.
Seseorang harus mencapai moksa dengan bimbingan seorang guru. Seorang guru atau siddha hanya membimbing namun tidak campur tangan.
Surga (svarga) diyakini sebagai tempat bagi karma sementara yang mesti dihindari oleh orang yang menginginkan moksa demi bersatu dengan Tuhan melalui Yoga.
Satrio paningit itu masih keturunan raja jawa, yang tidak bisa di garis sil-silahnya. Itu semua agar tidak di ketahui oleh musuh-musuhnya.
Oleh sebab itu, Raja-Raja Jawa Memilih Moksa untuk menghilangkan jejak Satrio Paningit ini.
Yang anehnya lagi, banyak yang aku-aku keturunan raja jawa untuk sebuah kekuasaan.
Tampa mengerti sisilahnya, tiba-tiba mengaku sebagai trah mataram jawa.
Keturunan Raja-Raja Jawa Yang menyebar saat ini masih keturunan dari Kerajaan Sunda Galuh (disebut juga Kerajaan Pajajaran) adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh.
Kedua kerajaan tersebut merupakan pecahan dari kerajaan Tarumanagara.
Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi kota Bogor, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah kota Kawali di Kabupaten Ciamis.
Ini karena garis keturunan Raja Jawa Dilihat dari silailah Raja Kertarajasa Jayawardhana atau disebut juga Raden Wijaya (lahir: tidak ada catattan yang menjelaskan-wafat: Majapahit, 1309) adalah pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus raja pertama Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardana, atau lengkapnya Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana.
Menurut Pararaton,
Raden Wijaya adalah putra Mahisa Campaka, seorang pangeran dari Kerajaan Singhasari.
Ia dibesarkan di lingkungan Kerajaan Singhasari.
Raden Wijaya adalah putra Mahisa Campaka, seorang pangeran dari Kerajaan Singhasari.
Ia dibesarkan di lingkungan Kerajaan Singhasari.
Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, disusun oleh Kesultanan Cirebon termasuk kedalam Naskah Wangsakerta.
Dimana Raden Wijaya adalah putra pasangan Rakyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal. Ayahnya adalah putra Prabu Guru Darmasiksa, raja Kerajaan Sunda Galuh.
Silsilah Raja Jawa
Raden Wijaya dalam prasasti Balawi tahun 1305 menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa.
Menurut Nagarakretagama,
Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, putra Narasinghamurti.
Menurut Pararaton,
Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng putra Ken Arok pendiri Wangsa Rajasa.
Menurut Prasasti Balawi dan Nagarakretagama
Raden Wijaya menikah dengan empat orang putri Kertanagara, raja terakhir Kerajaan Singhasari, yaitu:
Silsilah Raja Jawa
Raden Wijaya dalam prasasti Balawi tahun 1305 menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa.
Menurut Nagarakretagama,
Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, putra Narasinghamurti.
Menurut Pararaton,
Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng putra Ken Arok pendiri Wangsa Rajasa.
Menurut Prasasti Balawi dan Nagarakretagama
Raden Wijaya menikah dengan empat orang putri Kertanagara, raja terakhir Kerajaan Singhasari, yaitu:
- Tribhuwaneswari,
- Narendraduhita,
- Jayendradewi, dan
- Gayatri.
Sedangkan menurut Pararaton, ia hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja, serta seorang putri dari Kerajaan Malayu bernama Dara Petak, yaitu:
Salah satu dari dua putri yang dibawa kembali dari Melayu oleh pasukan yang dulunya dikirim oleh Kertanagara yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu pada masa kerajaan Singhasari.
Salah satu dari dua putri yang dibawa kembali dari Melayu oleh pasukan yang dulunya dikirim oleh Kertanagara yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu pada masa kerajaan Singhasari.
Dara Petak merupakan salah seorang putri Srimat Tribhuwana Raja Mauliwarmadewa Raja Melayu dari Kerajaan Dharmasraya.
Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi
Raden Wijaya memiliki seorang putra dari Tribhuwaneswari bernama Jayanagara.
Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi
Raden Wijaya memiliki seorang putra dari Tribhuwaneswari bernama Jayanagara.
Sedangkan Jayanagara menurut Pararaton adalah putra Dara Petak, dan menurut Nagarakretagama adalah putra Indreswari.
Sementara itu, dari Gayatri lahir dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.
Namun ada juga pendapat lain, dimana Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga yang juga salah seorang putri Kerajaan Melayu sebagai istrinya selain dari Dara Petak, karena Dara Jingga juga dikenal memiliki sebutan sira alaki dewa (dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa).
Sementara itu, dari Gayatri lahir dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.
Namun ada juga pendapat lain, dimana Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga yang juga salah seorang putri Kerajaan Melayu sebagai istrinya selain dari Dara Petak, karena Dara Jingga juga dikenal memiliki sebutan sira alaki dewa (dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa).
Wis ora usah aku-aku... sejatine keturunan rojo opo ora iku wis ono ambune marang sedulurane.... neng sengojo muksa damel ngerantos satrio paningit niku...