Sebagian besar sejarawan mencatat sebanyak 10.000 orang Tionghoa yang berada di dalam kota Batavia dibunuh, dan 500 lagi mengalami luka berat. Antara 600 dan 700 rumah milik orang Tionghoa dijarah dan dibakar.
Vermeulen mencatat 600 orang Tionghoa yang selamat, sementara sejarawan Indonesia A.R.T. Kemasang mencatat 3.000 orang yang selamat.
Sejarawan Tionghoa-Indonesia Benny G. Setiono mencatat bahwa sebanyak 500 tahanan dan pasien rumah sakit dibunuh, dengan jumlah orang yang selamat sebanyak 3.431.
Pembantaian ini disusul oleh periode yang rawan pembantaian terhadap warga keturunan Tionghoa di seluruh pulau Jawa, termasuk satu pembantaian lagi di Semarang pada tahun 1741, dan beberapa pembantaian lain di Surabaya dan Gresik.
Sebagai salah satu syarat untuk berakhirnya kekerasan, yakni semua penduduk Batavia keturunan Tionghoa dipindahkan ke suatu pecinan di luar batas kota Batavia, yang kini menjadi Glodok. Ini membuat orang Belanda lebih mudah mengawasi orang Tionghoa.
Untuk meninggalkan pecinan, orang Tionghoa membutuhkan tiket khusus.
Namun, pada tahun 1743, sudah ada ratusan pedagang keturunan Tionghoa yang bertempat di dalam kota Batavia.
Orang Tionghoa lain yang dipimpin oleh Khe Pandjang mengungsi ke Jawa Tengah, di mana mereka menyerang berbagai pos perdagangan Belanda dan bergabung dengan pasukan di bawah pimpinan Sultan Mataram, Pakubuwana II.
Meskipun perang ini sudah selesai pada tahun 1743, selama 17 tahun terdapat konflik di Jawa secara terus-menerus.
Pada tanggal 6 Desember 1740 van Imhoff dan dua anggota Dewan Hindia lainnya ditangkap atas perintah Valckenier dengan tuduhan pembangkangan, dan pada tanggal 13 Januari 1741 mereka dikirimkan ke Belanda dengan kapal yang berbeda; mereka tiba di Belanda pada tanggal 19 September 1741.
Di Belanda, van Imhoff meyakinkan Heeren XVII, pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia, serta menyampaikan pidato berjudul "Consideratiën over den tegenwoordigen staat van de Ned. O.I. Comp." ("Pertimbangan atas Keadaan Mutakhir di Hindia Belanda") pada tanggal 24 November.
Sebagai akibat dari pidato itu, van Imhoff dan anggota dewan lain dibebaskan dari semua tuntutan. Pada tanggal 27 Oktober 1742, van Imhoff dikirimkan kembali ke Batavia menggunakan kapal Hersteller sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru. Ia tiba di Batavia pada tanggal 26 Mei 1743.
Van Imhoff dikirim kembali ke Belanda, tetapi kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru.
Valckenier sudah diminta digantikan sebagai gubernur jenderal pada akhir tahun 1740, dan pada bulan Februari 1741 menerima surat yang memerintahkan dia mengangkat van Imhoff sebagai penggantinya; versi lain ialah bahwa Heeren XVII menggantikan Valckenier sebagai hukuman atas terlalu banyak gula yang diekspor daripada kopi pada tahun 1739, yang sangat merugikan VOC.
Saat Valckenier menerima surat tersebut, van Imhoff sudah dalam perjalanan ke Belanda.
Valckenier meninggalkan Hindia Belanda pada tanggal 6 November 1741, setelah memilih Johannes Thedens sebagai penggantinya sampai van Imhoff sudah kembali.
Pada tanggal 25 Januari 1742 dia mendarat di Cape Town tetapi ditangkap dan diselidiki oleh Gubernur Hendrik Swellengrebel atas perintah Heeren XVII.
Valckenier dikirim kembali ke Batavia pada bulan Agustus 1742, di mana ia dipenjarakan di Benteng Batavia, dan tiga bulan kemudian, digugat atas beberapa tuntutan, termasuk keterlibatannya dalam Geger Pacinan.
Pada bulan Maret 1744, ia dinyatakan bersalah dan dituntut dengan hukuman mati dan harta bendanya disita.
Pada bulan Desember 1744, kasus tersebut dibuka kembali setelah Valckenier membuat pernyataan yang panjang untuk membela dirinya.
Valckenier meminta lebih banyak bukti dari Belanda, tetapi meninggal dunia dalam kurungan pada tanggal 20 Juni 1751, sebelum penyelidikan diselesaikan.
Hukuman mati dibatalkan pada tahun 1755.
Vermeulen berpendapat bahwa penyeledikan Valckenier tidak adil dan dipicu oleh amarah masyarakat di Belanda.
Ini mungkin diakui secara resmi, sebab pada tahun 1760, putra Valckenier, Adriaan Isaäk Valckenier, mendapatkan ganti rugi sebanyak 725.000 gulden.
Produksi gula di daerah Batavia turun secara drastis setelah pembantaian, sebab banyak orang Tionghoa yang dulu mengurus industri tersebut sudah terbunuh atau hilang.
Industri tersebut mulai berkembang lagi setelah Gubernur Jenderal van Imhoff mengkolonisasi Tangerang.
Awalnya dia bermaksud agar orang yang berasal dari Belanda untuk bertani di sana; dia berpendapat bahwa orang Belanda yang sudah ada di Batavia adalah orang malas.
Namun, dia tidak bisa menarik orang baru karena pajak di Hindia Belanda sangat tinggi, maka dia terpaksa menjual tanah kepada orang Belanda yang ada di Batavia.
Pemilik tanah baru ini tidak berkenan untuk mengerjakan tanah tersebut, maka mereka menyewakan tanah itu kepada orang Tionghoa.
Produksi meningkat setelah itu, tetapi baru pada dekade 1760-an produksi ada pada tingkat yang sama dengan tahun 1740; setelah itu, produksi mulai berkurang lagi. Jumlah pabrik gula juga berkurang. Pada tahun 1710 terdapat 131 buah, tetapi pada tahun 1750 jumlahnya hanya 66 buah.
CATATAN VERMEULEN
Vermeulen menyebut pembantaian ini sebagai:
Salah satu peristiwa dalam kolonialisme [Belanda] pada abad ke-18 yang paling menonjol.
Dalam disertasinya, W. W. Dharmowijono menyatakan bahwa pogrom ini mempunyai peran besar dalam sastra Belanda.
Sastra ini muncul dengan cepat; Dharmowijono mencatat adanya sebuah puisi oleh Willem van Haren yang mengkritik pembantaian ini (dari tahun 1742) dan sebuah puisi anonim, dari periode yang sama, yang mengkritik orang Tionghoanya.
Raffles menulis pada tahun 1830 bahwa catatan historis Belanda jauh dari lengkap atau memuaskan.
Sejarawan asal Belanda Leonard Blussé menulis bahwa Geger Pacinan secara tidak langsung membuat Kota Batavia berkembang pesat, tetapi membuat dikotomi antara etnis Tionghoa dan pribumi yang masih terasa hingga akhir abad ke-20.
Pada abad yang sama, pembunuhan massal ini dicatat juga dalam Bahasa Banjar oleh Abdur Rahman di syairnya, Syair Hemop.
Pembantaian ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta.
Salah satu etimologi untuk nama Tanah Abang (yang berarti "tanah merah") ialah bahwa daerah itu dinamakan untuk darah orang Tionghoa yang dibunuh di sana; van Hoëvell berpendapat bahwa nama itu diajukan agar orang Tionghoa yang selamat dari pogrom lebih cepat menerima amnesti.
Nama Rawa Bangke mungkin diambil dari kata bangkai, karena jumlah orang Tionghoa yang dibunuh di sana; etimologi serupa juga pernah diajukan untuk Angke di Tambora, Jakarta Barat.
☆☆☆☆☆