MBAH TOHARI'S FAMILY

Komunitas Keluaraga Eyang Anom Sari

Minggu, 03 Maret 2019

Dosa Raden Patah Di Jawa Dwipa

Sabdo Palon dan Naya Genggong adalah 
PENUNTUN GAIB YANG MEWUJUD
Beliau berdua senantiasa hadir mengiringi Raja-Raja Jawa jaman Hindhu Buddha. 

Beliau berdua pergi meninggalkan tanah Jawa semenjak Keruntuhan Majapahit pada tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. 

Terkenal dengan 
SURYA SANGKALA
(KATA SANDHI PENANDA TAHUN KEJADIAN)
yang sangat populer di Jawa, yaitu:
SIRNA ILANG KERTHANING BHUMI
(SIRNA : 0, ILANG : 0, KERTHA : 4, BHUMI : 1 = 1400 Saka). 
Kalimat KERTHA ning BHUMI, diambil dari nama asli:
PRABHU BRAWIJAYA PAMUNGKAS 
(PAMUNGKAS=TERAKHIR)
yaitu:
RADEN KERTHABHUMI.
Janji kedatangan Beliau berdua diucapkan di Blambangan, ketika Majapahit hancur diserang oleh pasukan Demak Bintara.

Prabhu Brawijaya meloloskan diri ke arah Timur, hendak menyeberang ke Pulau Bali, namun masih bertahan sementara di Blambangan (Banyuwangi sekarang).

Raden Patah, Pemimpin Demak Bintara, merasa bangga telah menghancurkan Majapahit yang dia anggap sebagai negara kafir.

Serta merta, setelah mendengar kabar berhasil dikuasainya Majapahit oleh tentara Islam, Raden Patah datang dari Demak, ingin melihat langsung keadaan Majapahit yang berhasil dihancurkan.

Setelah itu, dengan bangga beliau meneruskan perjalanannya ke Pesantren Ampeldhenta, hendak mengabarkan keberhasilan itu.
Namun ternyata, Nyi Ageng Ampel, istri almarhum Sunan Ampel, malah mempersalahkannya.

Nyi Ageng Ampel mengingatkan bahwa dulu semasa Sunan Ampel masih hidup, beliau pernah berpesan bahwsanya jangan sekali-kali murid-murid beliau ikut campur masalah politik, atau malah berani merebut kekuasaan Majapahit.

Bahkan Nyi Ageng dengan tegas menambahkan, Raden Patah telah berdosa tiga hal :

  1. Kepada Guru, yaitu melanggar wasiat Sunan Ampel.
  2. Kepada Ayah, karena Prabhu Brawijaya adalah ayah kandung Raden Patah.
  3. Kepada Raja, karena Raja adalah Imam, tidak boleh dilawan tanpa alasan yang benar. 
Sebab, selama memerintah, Prabhu Brawijaya tidak pernah melarang penyebaran agama Islam, bahkan menghadiahkan tanah Ampeldhenta (didaerah Surabaya sekarang), sebagai tanah otonom. Diijinkan untuk dipakai sebagai basis pendidikan agama bagi orang-orang muslim.
Dengan sangat menyesal, Raden Patah meminta petunjuk, bagaimanakah cara untuk menghapus kesalahannya.

Nyi Ageng menyarankan agar kedudukan Prabhu Brawijaya Pamungkas sebagai Raja harus dikembalikan.

Namun yang menjadi masalah, kemanakah Sang Prabhu meloloskan diri?

Nyi Ageng memperkirakan, Sang Prabhu pasti menuju ke Pulau Bali. 
Raden Patah berniat menyusul sendiri, namun dicegah Nyi Ageng Ampel, karena setelah kejadian penyerangan Majapahit oleh tentara Islam terjadi, maka, tidak akan ada satupun orang Islam yang akan dipercayai oleh Sang Prabhu.

Tidak Raden Patah, tidak Nyi Ageng Ampel, tidak pula Para Wali yang lain, yang turut serta membantu penyerangan tersebut.

Namun, hanya ada dua Wali yang mungkin masih beliau percayai, pertama Syeh Siti Jenar dan kedua Sunan Kalijaga.

Karena kedua Wali ini terang-terangan menentang penyerangan pasukan Islam ke Majapahit.

Karena hubungan Raden Patah tidak begitu baik dengan Syeh Siti Jenar, maka dia meminta pertolongan Sunan Kalijaga untuk melacak keberadaan ramanda-nya.

Dan jika ditemukan, dimohon dengan segala hormat untuk kembali ke Trowulan, ibukota Majapahit, untuk dikukuhkan lagi sebagai Raja.

Sunan Kalijaga bersedia membantu, ditemani beberapa santri beliau langsung melakukan pencarian ke arah Timur.

Dan ternyata benar, di Blambangan, banyak umbul-umbul pasukan Majapahit serta para prajurid Majapahit yang siap tempur berkumpul disana.

Dan benar pula, Prabhu Brawijaya masih ada disana, belum menyeberang ke Pulau Bali. Agak kesulitan Sunan Kalijaga memohon bertemu dengan Sang Prabhu.

Namun karena Sang Prabhu tahu betul, Sunan Kalijaga, yang seringkali beliau panggil Sahid itu, menurut pasukan sandhi (intelejen) Majapahit, Sunan Kalijaga bersama pengikutnya, sama sekali tidak ikut dalam penyerangan ke Majapahit, maka Sunan Kalijaga dipersilahkannya menghadap, walau dengan kawalan ketat.

TERJADINYA SERAT SABDO PALON
Disinilah dialog SERAT SABDO PALON terjadi. 
Sang Prabhu Brawijaya, ditemani Sabdo Palon dan Naya Genggong, dihadap oleh Sunan Kalijaga,beserta sesepuh Majapahit yang kebetulan bersama-sama Sang Prabhu hendak menuju Pulau Bali, menyusul beberapa masyarakat Jawa lainnya yang lebih dahulu melarikan diri kesana.

Mendengar penuturan Sunan Kalijaga,Sang Prabhu luruh hatinya.

Karena sejatinya, Sang Prabhu kini tengah menggalang kekuatan besar untuk merebut kembali tahta dari tentara Islam.

Tidak bisa dibayangkan apabila itu terjadi, karena pendukung Sang Prabhu Brawijaya masih banyak tersebar diseluruh Nusantara.

Pertumpahan darah yang lebih besar pasti akan terjadi.

Putra-putra Prabhu Brawijaya masih banyak yang berkuasa dan mempunyai kekuatan tentara yang besar, seperti:

  1. Adipati Handayaningrat IV di Pegging, 
  2. Lembu Peteng di Madura, 
  3. Bondhan Kejawen di Tarub dan masih banyak lagi.
Sunan Kalijaga meminta, agar pertikaian dihentikan, dan sudilah kiranya Sang Prabhu kembali memegang tampuk pemerintahan.

Prabhu Brawijaya menolak, karena jikalau itu terjadi, maka beliau akan merasa terhina oleh putra selirnya sediri, Raden Patah, yang lahir dari putri China Eng-Kian dan dibesarkan di Palembang dalam asuhan Adipati Arya Damar atau Swan Liong.

Bagaimana tidak, seorang ayah harus menerima tahta dari anaknya sendiri, memalukan.

Ketika perundingan menemui jalan buntu, maka Sunan Kalijaga mengusulkan agar beliau dengan kebesaran jiwa, mau memeluk Islam.

Dengan demikian, seluruh pendukung beliau pasti akan meninggalkan beliau satu persatu, dan pertumpahan darah yang lebih besar lagi akan terhindar.

Mendengar akan hal itu, Prabhu Brawijaya tercenung, untuk menghindari peperangan lebih besar, setidaknya, usulan Sunan Kalijaga memang masuk akal.

Demi perdamaian, Sang Prabhu mengesampingkan ego-nya.

Maka penuh dengan kebesaran hati, beliau menyatakan masuk Islam.

Terkejut seluruh yang hadir, termasuk Sabdo Palon dan Naya Genggong.

Hingga, terlontarlah sebuah janji seperti tercantum pada SERAT SABDO PALON diatas.

Sepeninggal Sabdo Palon dan Naya Genggong
Sang Prabhu-pun bersedia kembali ke Trowulan, namun bukan hendak kembali memduduki tahta, akan tetapi mendamaikan seluruh kerabat Majapahit agar merelakan tahta dipegang oleh Raden Patah.

Dalam perjalanan pulang inilah, Sunan Kalijaga meminta bukti ketulusan Sang Prabhu dalam memeluk Islam.

Sunan Kalijaga memohon untuk memotong rambut panjang Sang Prabhu.

Dengan sebilah keris, setelah diijinkan, Sunan Kalijaga memotong rambut beliau.

Tapi ternyata, tidak satu helai-pun terpotong.

Sekali lagi, Sunan Kalijaga meminta keikhlasan Sang Prabhu memeluk Islam, dan sekali lagi Sunan Kalijaga memotong rambut beliau.

Kali ini, terpotong sudah.

Namun, Sunan Kalijaga belum puas, menjelang berangkat kembali ke Trowulan, Sunan Kalijaga mengambil air comberan yang berbau tidak sedap dimasukkan kedalam sebilah bambu.

Dihadapan Sang Prabhu, beliau menyatakan, bahwasanya apabila air comberan ini sesampainya di Trowulan airnya berubah tidak berbau busuk, nyata sudahlah Sang Prabhu telah lahir bathin masuk Islam.

Berangkatlah rombongan itu ke Trowulan, sesampainya di Trowulan, disambut dengan suka cita oleh masyarakat Trowulan.

Air dalam bilah bambu dicurahkan oleh Sunan Kalijaga, dan ternyata, bau busuknya hilang, bahkan airnya berubah jernih.

Untuk mengingat kejadian itu, Blambangan diubah namanya menjadi BANYUWANGI hingga sekarang.

Tidak berapa lama di Trowulan, Sang Prabhu jatuh sakit.

Putra-putranya datang berkumpul, melalui Sunan Kalijaga, beliau mengamanatkan agar menghentikan pertumpahan darah Hindhu-Buddha dengan Islam.

Biarkanlah Raden Patah bertahta sebagai Raja di Jawa walau sebenarnya, keturunan dari Pengging-lah yang lebih berhak.

Menjelang akhir hayat beliau, beliau berpesan agar diatas pusara makam beliau jangan diberi tanda bahwasanya beliau adalah Prabhu Brawijaya, Raja Majapahit terakhir, namun tandailah dengan nama Putri Champa Anarawati, permaisuri beliau.

Sebab beliau merasa diperhinakan sebagaimana wanita oleh putraya sendiri.

Dan penghinaan itu didukung oleh permaisurinya sendiri, Dewi Anarawati, putri Champa yang beragama Islam.

Dewi Anarawati inilah bibi Sunan Ampel.

Dewi Anarawati-lah yang menyarankan agar Sang Prabhu memberikan Ampeldenta kepada Sunan Ampel untuk didirikan sebuah Pesantren Islam.

Maka jangan heran, apabila di Trowulan, tidak diketemukan makam Prabhu Brawijaya, melainkan Putri Champa.

Padahal makam Putri Champa yang asli berada di Gresik.

Begitu Majapahit diserang pasukan Islam, beliau diungsikan ke Gresik hingga beliau wafat.
☆☆☆☆☆

Sikilas Babat Dalem Majapahit

Babad Dalem Majapahit- Diceritakan Ida Pandita Hindu yang bergelar Usman Aji dan Ajisaka diutus oleh Ratu Hindu yang bernama Raja Ista...