Pada periode awal kolonialisasi Hindia Belanda oleh Belanda, banyak orang keturunan Tionghoa dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia di pesisir barat laut pulau Jawa; mereka juga bertugas sebagai pedagang, buruh di pabrik gula, serta pemilik toko. Perdagangan antara Hindia Belanda dan Tiongkok, yang berpusat di Batavia, menguatkan ekonomi dan meningkatkan imigrasi orang Tionghoa ke Jawa. Jumlah orang Tionghoa di Batavia meningkat pesat, sehingga pada tahun 1740 ada lebih dari 10.000 orang. Ribuan lagi tinggal di luar batas kota. Pemerintah kolonial Belanda mewajibkan mereka membawa surat identifikasi, dan orang yang tidak mempunyai surat tersebut dipulangkan ke Tiongkok.
Kebijakan deportasi ini diketatkan pada dasawarsa 1730-an, setelah pecahnya epidemik malaria yang membunuh ribuan orang, termasuk Gubernur Jenderal Dirk van Cloon. Menurut sejarawan Indonesia Benny G. Setiono, epidemik ini diikuti oleh meningkatnya rasa curiga dan dendam terhadap etnis Tionghoa, yang jumlahnya semakin banyak dan kekayaan yang semakin menonjol. Akibatnya, Komisaris Urusan Orang Pribumi Roy Ferdinand, di bawah perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, memutuskan pada tanggal 25 Juli 1740 bahwa warga keturunan Tionghoa yang mencurigakan akan dideportasi ke Zeylan (kini Sri Lanka) dan dipaksa menjadi petani kayu manis. Warga keturunan Tionghoa yang kaya diperas penguasa Belanda, yang mengancam mereka dengan deportasi; Stamford Raffles, seorang penjelajah asal Inggris dan ahli sejarah pulau Jawa, mencatat bahwa orang Belanda diberi tahu Kapitan Cina (pemimpin etnis Tionghoa yang ditentukan Belanda) untuk Batavia, Ni Hoe Kong, agar mendeportasikan semua orang Tionghoa berpakaian hitam atau biru, sebab merekalah yang miskin. Ada pula desas-desus bahwa orang yang dikirimkan ke Zeylan tidak pernah sampai ke sana, tetapi justru dibuang ke laut, atau bahwa mereka mati saat membuat kerusuhan di kapal. Ancaman deportasi ini membuat orang Tionghoa resah, dan banyak buruh Tionghoa meninggalkan pekerjaan mereka.
Sementara, penduduk pribumi di Batavia, termasuk orang-orang Betawi, menjadi semakin curiga terhadap orang Tionghoa. Masalah ekonomi ikut berperan; sebagian besar penduduk pribumi miskin, dan beranggapan bahwa orang Tionghoa tinggal di daerah-daerah terkemuka dan sejahtera. Biarpun sejarawan Belanda A.N. Paasman mencatat bahwa orang Tionghoa menjadi "bak orang Yahudi untuk Asia", keadaan sebenarnya lebih rumit. Banyak orang Tionghoa miskin yang tinggal di sekitar Batavia merupakan buruh di pabrik gula, yang merasa dimanfaatkan para pembesar Belanda dan Tionghoa. Orang Tionghoa yang kaya memiliki pabrik dan menjadi semakin kaya dengan mengurus perdagangan; mereka mendapatkan penghasilan dari pembuatan dan distribusi arak, sebuah minuman keras yang dibuat dari molase dan beras. Namun, penguasa Belanda yang menentukan harga gula; ini juga menyebabkan keresahan. Sebagai akibat penurunan harga gula di pasar dunia, yang disebabkan kenaikan jumlah ekspor ke Eropa, industri gula di Hindia Belanda merugi. Hingga tahun 1740, harga gula di pasar global sudah separuh dari harga pada tahun 1720. Karena gula menjadi salah satu ekspor utama Hindia Belanda, negara jajahan itu mengalami kesulitan finansial.
Pada awalnya, beberapa anggota Dewan Hindia (Raad van Indië) beranggapan bahwa orang Tionghoa tidak mungkin menyerang Batavia, dan kebijakan yang lebih tegas mengatur orang Tionghoa ditentang oleh fraksi yang dipimpin mantan gubernur Zeylan Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang kembali ke Batavia pada tahun 1738. Namun, orang keturunan Tionghoa tiba di luar batas kota Batavia dari berbagai kampung, dan pada tanggal 26 September Valckenier memanggil para anggota dewan untuk pertemuan darurat. Pada pertemuan tersebut, Valckenier memerintah agar kerusuhan yang dipicu orang Tionghoa dapat ditanggapi dengan kekuatan yang mematikan.Kebijakan ini terus ditentang oleh fraksi van Imhoff; Vermeulen (1938) berpendapat bahwa ketegangan antara kedua fraksi politik ini ikut berperan dalam pembantaian.
Pada tanggal 1 Oktober malam, Valckenier menerima laporan bahwa ribuan orang Tionghoa sudah berkumpul di luar gerbang kota Batavia; amukan mereka dipicu oleh pernyataannya pada pertemuan dewan lima hari sebelumnya. Valckenier dan anggota Dewan Hindia lain tidak percaya hal tersebut. Namun, setelah orang Tionghoa membunuh seorang sersan keturunan Bali di luar batas kota, dewan memutuskan untuk melakukan tindakan serta menambah jumlah pasukan yang menjaga kota. Dua kelompok yang terdiri dari 50 orang Eropa dan beberapa kuli pribumi, dikirim ke pos penjagaan di sebelah selatan dan timur Batavia, dan rencana penyerangan pun dibuat.